“Its’ amazing.” Dua kata itu meluncur dari bibir Dr Hilairy Hartnet, peneliti School of Earth and Space Exploration, Arizona State University (ASU), Amerika Serikat (AS), pekan lalu. Kesimpulan yang muncul dari hasil observasi Hilairy ke lokasi pusat semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.
Bersama tiga koleganya, Dr Amanda Clarke, Dr Ramon Arrowsmith, dan Dr Dannie Hidayat, peneliti dari Pennsylvania State University asal Indonesia, Hilairy sudah satu pekan mengumpulkan aneka data. Tujuannya cuma satu, mencari sumber dari batuan dan air yang keluar dari pusat semburan lumpur yang telah membuat ribuan orang terusir dari rumahnya.
Di hadapan media, dan Deputi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Sofyan Hadi, Amanda, Hilairy dan Dannie menyampaikan aktivitas riset yang dilakukan.
Tim fokus pada penelitian tentang aktivitas tektonik, serta aspek geokimia. Riset soal aktivitas tektonik dipimpin Arrowsmith sedangkan Hilairy memimpin riset soal geokimia.
Mereka telah mengambil sampel berupa air, lumpur, dan bebatuan, sampai mengukur kadar oksigen, gas, serta struktur tanah. Aktivitas itu dilakukan di sejumlah titik seperti di pusat semburan lumpur, Siring Barat, Kalang Anyar, Sedati, Watukosek, Pasuruan dan kawasan Gunung Penanggungan.
Hipotesis utama yang akan diungkap dari riset ini adalah ada tidaknya hubungan antara patahan Watukosek, Pasuruan dan patahan lainnya dengan gunung berapi lumpur yang muncul sekarang.
“Mud volcano itu biasanya muncul di sekitar patahan,” kata Dannie sambil menunjukkan letak patahan di peta lama Kabupaten Sidoarjo.
“Tapi, kami belum bisa menyimpulkan apa-apa karena kami cuma mengumpulkan data. Sampel ini masih harus dianalisa di laboratorium,” tambah Amanda sambil menunjukkan tiga botol berisi sampel air, lumpur dan batu yang diambilnya.
Hilairy mengatakan, “Meneliti sesuatu yang terjadi di bawah permukaan bumi itu sulit dan perlu waktu.”
Perempuan berumur 37 tahun itu tidak bisa memastikan kapan hasil analisa itu bisa diketahui. Soalnya, jumlah sampel yang diambil cukup banyak. Ditambah lagi, dia harus antre dengan peneliti lain untuk menganalisa sampel itu di laboratorium ASU.
“Ada antrean riset di laboratorium kami karena laboratorium kami juga mengerjakan analisa air dari seluruh dunia,” tukas Amanda.
Lagipula analisa data tak bisa dilakukan buru-buru. Hasilnya diperkirakan diketahui beberapa tahun lagi untuk diteruskan ke pemerintah Indonesia. Kendati demikian, keduanya memastikan bahwa semburan lumpur itu berasal dari gunung berapi lumpur atau mud volcano. Penjelasannya sederhana. Arah semburan lumpur yang mencuat ke permukaan tanpa henti. Lebih lanjut, Amanda menuturkan, gunung lumpur di Porong ini merupakan suatu fenomena alam yang umum timbul didaerah yang memiliki kandungan hidrokarbon (minyak dan gas) serta memiliki aktivitas tektonik (gempa bumi).
Fenomena ini, lanjut Hilairy, bisa juga dikaitkan dengan lahar gunung berapi. Gunung berapi lumpur, lanjut dia, ada di seluruh dunia.. Khusus di Indonesia, kata dia, keberadaan gunung berapi lumpur ini lebih merata termasuk di Porong. Hal yang wajar bila mengingat tingginya aktivitas gunung berapi di negeri ini. Namun, keduanya belum bisa menjawab pertanyaan apakah ini murni mud volcano atau karena ulah manusia.
Dia juga belum bisa memperkirakan sampai kapan lumpur itu menyembur ke permukaan.
Kembali ke soal patahan Watukosek, Amanda memaparkan, patahan itu memanjang mulai dari Gunung Penanggungan hingga ke Madura. Di atasnya, setidaknya terdapat enam titik yang hingga saat ini mengeluarkan lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong. Keenam titik tersebut adalah semburan lumpur Porong, Kalanganyar, Pulungan, Gunung Anyar, Surabaya), serta Buje Tasek (Bangkalan). Hanya saja dari enam titik ini memang hanya lumpur Lapindo yang masih baru sementara lainnya memiliki usia lebih dari puluhan tahun.
Penelitian di Porong ini sebenarnya adalah akhir penelitian mereka yang telah berjalan sejak Februari 2008 lalu. Sebelum tiba di Porong, mereka telah berkeliling Indonesia untuk meneliti beberapa gunung berapi lumpur lainnya yang telah meletus beberapa abad yang lalu. Hasilnya, Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari seribu gunung berapi lumpur yang telah meletus dalam kurun waktu yang berbeda.
Deputi BPLS, Sofyan Hadi membuka tangan lebar-lebar terhadap kehadiran tim peneliti dari ASU ini.
“Kami siap memfasilitasi semua ilmuwan yang melakukan penelitian terhadap lumpur Sidoarjo. Syaratnya, mereka harus mau berbagi data risetnya dengan kami. Soalnya, kami juga ingin mengungkap misteri ilmiah yang terjadi di Porong ini,” tandasnya.
Maklum, tim dari Negeri Paman Sam ini bukanlah yang pertama meneliti semburan lumpur yang sudah berlangsung dua tahun itu. Sebelumnya, sudah ada tim peneliti dari Jepang, dan Norwegia yang melakukan hal serupa. Akhir Februari 2008,
Adriano Mazzini, ahli mud vulcano Norwegia mengambil sampel gas, air dan lumpur. Tujuannya sama, mengungkap penyebab semburan ini. Dia juga mengkaji ada tidaknya kandungan magma serta asal muasal gas dan air.
Desember 2006, Profesor Jim Mori asal Universitas Kyoto, Jepang lebih dulu meneliti lumpur di Porong. Pada akhir Februari 2007, dia paparkan hasilnya. Menurut Mori, ada beberapa sebab pemicu semburan lumpur.
“Semburan itu bisa karena tekanan akibat pengeboran sumur Banjarpanji I, bisa oleh gempa tektonik, atau kombinasi keduanya,” ujar Mori.
Dia juga sependapat bahwa yang sedang terjadi di Porong adalah fenomena mud vulcano. Dia menuturkan, peristiwa mud vulcano biasanya selalu disertai dengan deformasi permukaan tanah. Mori memperkirakan tanah di sekitar semburan lumpur akan turun antara 300 meter sampai 400 meter berbentuk elips dengan garis tengah 1,8 Kilometer x 1,5 Kilometer. Tapi, dia tidak yakin Porong ikut hilang karena penurunan permukaan tanah itu.
Mori mengungkapkan pula bahwa lumpur yang keluar bukan berasal dari kedalaman 1.000 meter lebih seperti perkirakan banyak ahli selama ini. Sebaliknya, lumpur itu datang dari kedalaman 500 meter dari permukaan tanah. Inilah penyebab mengapa permukaan tanah di Porong dengan cepat mengalami penurunan permukaan.
Meski begitu, Mori mengakui jika ini tidak mendukung kenyataan bahwa ada banyak air panas ikut keluar bersama lumpur. Dalam analisasnya, air panas yang keluar itu berasal dari areal gunung berapi di selatan Porong.
Di akhir paparannya, Mori mengingatkan agar dilakukan penelitian lebih mendalam dan pemantauan berkelanjutan terhadap situasi di sekitar lokasi semburan.
Hal yang juga diingatkan Amanda dan Hilairy. Keduanya meminta pemerintah untuk terus memperbarui data semburan lumpur dan memantau situasi semburan lumpur.
“Agar situasi yang akan terjadi di masa datang bisa diprediksi lebih baik,” tandas Hilairy.
Apalagi Dannie memperkirakan semburan di Porong secara teoretis tak bisa dihentikan oleh manusia. Parahnya, menurut ramalan Mori, semburan ini bisa berlangsung hingga 30 tahun. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain kecuali membuat antisipasi dini. Agar luberan lumpur tak makin meluas.