Adipati Wen dari Jin (Hanzi: 晋文公, pinyin: Jin Wengong, 697 SM-628 SM), yang nama aslinya Ji Chong’er (姬重耳) adalah penguasa negara Jin pada Zaman Musim Semi dan Gugur, Dinasti Zhou. Ia berhasil meraih kedudukan sebagai adipati setelah melalui perjuangan panjang dan sulit. Karakternya yang berintegritas tinggi dan murah hati membuat banyak orang berbakat rela bergabung dengannya dan melewati masa-masa sulit di pengasingan hingga naik sebagai penguasa. Selama hampir sembilan tahun memerintah ia berhasil mengintegrasikan negara-negara kecil di sekitarnya dan menjadikan negara Jin sebagai negara yang kuat. Sejarah mencatatnya sebagai salah satu dari Lima penguasa besar Zaman Musim Semi dan Musim Gugur (春秋五霸).
Kehidupan awal
Ji Chong’er adalah salah satu putra Adipati Xian dari Jin. Ia dianugerahi tanah oleh ayahnya di Pucheng (sekarang wilayah Shanxi). Adipati Xian mempunyai seorang selir yang sangat disayangi, bernama Selir Li, seorang wanita dari suku Rong. Selir Li menginginkan agar putra yang dilahirkannya Xiqi memperoleh hak waris atas tahta adipati. Untuk mewujudkan ambisinya itu, ia harus menyingkirkan putra sulung Adipati Xian, Ji Shensheng, yang adalah calon penerusnya. Pada tahun 656 SM, Selir Li berhasil memfitnah Shensheng sehingga ia melakukan bunuh diri. Belum cukup sampai disitu, Selir Li juga berusaha menyingkirkan putra-putra Adipati Xian yang lain.
Sadar jiwanya terancam, Chong’er yang saat itu berada di ibukota buru-buru melarikan diri kembali ke wilayahnya. Namun tindakan ini malah dimanfaatkan oleh Selir Li yang menghasut sang adipati bahwa Chong’er hendak memberontak. Adipati Xian mengirim seorang pembunuh bernama Bo Di ke Pucheng untuk menghabisinya. Chong’er luput dari maut dengan memanjat tembok, Bo Di hanya berhasil merobek jubahnya. Untuk menghindar dari kejaran ayahnya yang telah terhasut ia memutuskan untuk kabur ke negara Zhai.
Hidup di pengasingan
Tahun 651 SM, Adipati Xian mangkat dan putra Selir Li, Xiqi, naik tahta menggantikannya. Namun hanya beberapa bulan bertahta ia dan ibunya dibunuh dalam kudeta berdarah di bawah pimpinan Li Ke, seorang menteri yang membenci Selir Li. Li memimpin pemerintahan sementara negara Jin dan mengirim utusan untuk memanggil Chong’er kembali dari pengasingan. Chong’er menolak menduduki tahta dan berkata, “Ketika ayah masih hidup aku melanggar perintah dan melarikan diri darinya, ketika ayah meninggal aku bahkan tidak hadir di pemakamannya, aku kini menjadi anak tidak berbakti sehingga tidak pantas untuk menerima jabatan itu.” Sementara itu, adiknya, Ji Yiwu, yang juga mengincar tahta mengirim surat pada Li Ke yang memuji-mujinya karena telah berjasa membunuh Selir Li, ia juga menjanjikan Li kedudukan sebagai perdana menteri dan tanah yang luas bila menyetujuinya naik tahta. Ia juga mengirim surat ke negara Qin untuk meminta dukungan militer dengan imbalan lima keresidenan di sungai barat. Li Ke menyetujui tawaran itu walau dengan setengah hati, ia tidak mempunyai pilihan lain karena Yiwu didukung oleh negara Qin yang kuat. Tahun berikutnya, Yiwu pun akhirnya naik tahta dengan gelar Adipati Hui dari Jin. Penguasa baru ini bukanlah penguasa yang baik, ia mempercayai pejabat korup dan menyingkirkan mereka yang setia sehingga timbul ketidakpuasan di kalangan pejabat maupun rakyat, selain itu ia dianggap telah menggadaikan negara dengan menyerahkan lima keresidenan pada Qin. Melihat kinerja adiknya yang buruk, Chong’er bertekad untuk kembali ke Jin dan menggulingkannya
Ji Chong’er adalah salah satu putra Adipati Xian dari Jin. Ia dianugerahi tanah oleh ayahnya di Pucheng (sekarang wilayah Shanxi). Adipati Xian mempunyai seorang selir yang sangat disayangi, bernama Selir Li, seorang wanita dari suku Rong. Selir Li menginginkan agar putra yang dilahirkannya Xiqi memperoleh hak waris atas tahta adipati. Untuk mewujudkan ambisinya itu, ia harus menyingkirkan putra sulung Adipati Xian, Ji Shensheng, yang adalah calon penerusnya. Pada tahun 656 SM, Selir Li berhasil memfitnah Shensheng sehingga ia melakukan bunuh diri. Belum cukup sampai disitu, Selir Li juga berusaha menyingkirkan putra-putra Adipati Xian yang lain.
Sadar jiwanya terancam, Chong’er yang saat itu berada di ibukota buru-buru melarikan diri kembali ke wilayahnya. Namun tindakan ini malah dimanfaatkan oleh Selir Li yang menghasut sang adipati bahwa Chong’er hendak memberontak. Adipati Xian mengirim seorang pembunuh bernama Bo Di ke Pucheng untuk menghabisinya. Chong’er luput dari maut dengan memanjat tembok, Bo Di hanya berhasil merobek jubahnya. Untuk menghindar dari kejaran ayahnya yang telah terhasut ia memutuskan untuk kabur ke negara Zhai.
Hidup di pengasingan
Tahun 651 SM, Adipati Xian mangkat dan putra Selir Li, Xiqi, naik tahta menggantikannya. Namun hanya beberapa bulan bertahta ia dan ibunya dibunuh dalam kudeta berdarah di bawah pimpinan Li Ke, seorang menteri yang membenci Selir Li. Li memimpin pemerintahan sementara negara Jin dan mengirim utusan untuk memanggil Chong’er kembali dari pengasingan. Chong’er menolak menduduki tahta dan berkata, “Ketika ayah masih hidup aku melanggar perintah dan melarikan diri darinya, ketika ayah meninggal aku bahkan tidak hadir di pemakamannya, aku kini menjadi anak tidak berbakti sehingga tidak pantas untuk menerima jabatan itu.” Sementara itu, adiknya, Ji Yiwu, yang juga mengincar tahta mengirim surat pada Li Ke yang memuji-mujinya karena telah berjasa membunuh Selir Li, ia juga menjanjikan Li kedudukan sebagai perdana menteri dan tanah yang luas bila menyetujuinya naik tahta. Ia juga mengirim surat ke negara Qin untuk meminta dukungan militer dengan imbalan lima keresidenan di sungai barat. Li Ke menyetujui tawaran itu walau dengan setengah hati, ia tidak mempunyai pilihan lain karena Yiwu didukung oleh negara Qin yang kuat. Tahun berikutnya, Yiwu pun akhirnya naik tahta dengan gelar Adipati Hui dari Jin. Penguasa baru ini bukanlah penguasa yang baik, ia mempercayai pejabat korup dan menyingkirkan mereka yang setia sehingga timbul ketidakpuasan di kalangan pejabat maupun rakyat, selain itu ia dianggap telah menggadaikan negara dengan menyerahkan lima keresidenan pada Qin. Melihat kinerja adiknya yang buruk, Chong’er bertekad untuk kembali ke Jin dan menggulingkannya
Khawatir Chong’er akan kembali dan menjatuhkannya, tahun 644 SM, Adipati Hui mengirim Bo Di untuk membunuhnya. Bo gagal membunuh Chong’er untuk kedua kalinya karena ia berhasil lolos lagi. Chong’er terpaksa meninggalkan negara Zhai. Ketika tiba di negara Wei, ia tidak diijinkan lewat oleh Adipati Wen dari Wei yang menyimpan dendam terhadap ayahnya. Chong’er dan pengikutnya terpaksa mengambil rute memutar yang lebih jauh. Di perbatasan Wei yang gersang, persediaan makanan mereka habis. Dehidrasi dan kelaparan menjadi masalah serius, terlebih saat itu sedang musim panas. Ketika beristirahat melepas lelah, salah seorang pengikutnya, Jie Zhitui, menghidangkan semangkuk sup daging padanya. Chong’er menerima dan meminum sup itu sehingga merasa lebih segar, namun ia baru sadar darimana Jie mendapat daging di daerah segersang ini. Ternyata Jie memotong daging dari pahanya sendiri untuk membuat sup itu. Ketika Chong’er mengetahuinya, ia sangat tersentuh akan kesetiaanya. Kelak setelah berkuasa, ia memberi jabatan penting pada Jie.
Setelah melalui perjalanan panjang, mereka tiba di negara Qi. Di sana, ia diterima dengan baik oleh Adipati Huan dari Qi. Adipati Huan tidak saja memberikannya kediaman mewah dan harta berlimpah, ia juga menjodohkannya dengan putri kerabatnya, Putri Qi Jiang, yang terkenal cantik. Hidup di Qi dalam gelimang kemewahan selama beberapa tahun membuat Chong’er terlena dan mulai melupakan ambisinya untuk memulihkan kejayaan negerinya, apalagi usianya saat itu sudah memasuki paruh baya dan sudah berkeluarga.
Pada tahun 639 SM, para pengikut Chong’er dibawah pimpinan Zhao Shuai dan Hu Yan mendiskusikan cara untuk membawa keluar atasannya dari Qi agar tidak melupakan cita-cita memulihkan negara Jin. Percakapan mereka terdengar oleh seorang pelayan Putri Qi Jiang yang segera melaporkan hal itu pada majikannya. Putri Qi Jiang adalah seorang wanita yang bijaksana, ia ingin suaminya sebagai seorang pria sejati jangan sampai melupakan kewajibannya terhadap negara sehingga ia malah mendukung rencana para pengikut suaminya. Setelah gagal membujuk suaminya untuk meninggalkan Qi dan kembali membangun negaranya, ia bersama para bawahan suaminya mengadakan sebuah pesta untuk Chong’er dan membuatnyam mabuk hingga tak sadarkan diri. Saat itulah mereka menaikannya ke kereta yang membawanya keluar dari Qi. Ketika siuman, ia sudah berada di alam liar dan jauh dari Qi. Dalam kemarahannya, ia hampir saja membunuh Hu Yan kalau saja tidak dicegah oleh yang lain. Hati Chong’er akhirnya luluh setelah para pengikutnya bersujud dan membujuknya agar tidak melupakan tujuan awal.
Kembali hidup mengembara
Setelah meninggalkan negara Qi, Chong’er dan pengikutnya berkelana dari satu negara ke negara lain. Mereka sempat tinggal di Cao, Song, dan Zheng namun mendapat perlakuan yang tidak baik sehingga tidak berlama-lama tinggal disana. Walau hidup terlunta-lunta, reputasinya yang bersih dan tulus, membuat banyak orang yang mengikutinya dan orang-orang yang mengikutinya bukanlah orang-orang sembarangan, mereka terdiri dari sarjana, ahli bela diri, dan orang-orang dari profesi terhormat lainnya. Pernah seorang putri pejabat berkomentar, “Dari setiap pengikut Pangeran Chong’er masing-masing pantas menduduki jabatan sebagai perdana menteri”
Tahun 637 SM, Chong’er dan rombongannya tiba di negara Chu. Raja Cheng dari Chu menyambutnya dengan hangat dan memperlakukannya seperti sahabat. Dalam suatu jamuan ia bertanya pada Chong’er mengenai apa yang akan dilakukannya dikemudian hari jika ada kesempatan membalas budi. Chong’er menjawab, “Jika satu hari nanti nasib buruk mempertemukan negara kita di medan perang, saya akan mengalah dulu dengan mundur sejauh tiga she (1 she = 15 km)”. Seorang menteri Chu bernama Zi Yu tidak senang dengan jawaban tersebut dan membujuk Raja Cheng untuk membunuhnya agar tidak menimbulkan kesulitan di kemudian hari, namun Raja Cheng yang terkesan pada sikap ksatria Chong’er menolak bujukan itu.
Setelah beberapa bulan di Chu, Chong’er dan pengikutnya melanjutkan perjalanan hingga tiba di Qin. Disana mereka diterima dengan baik oleh Adipati Mu dari Qin. Adipati Mu memberikan lima wanita cantik termasuk seorang putrinya pada Chong’er sebagai selir. Adipati Mu yang kecewa dengan Adipati Hui mendukung Chong’er naik tahta. Tahun 636 SM, dibawah pengawalan pasukan Qin, Chong’er kembali ke negaranya. Saat itu Adipati Hui telah mangkat dan digantikan oleh putranya, Adipati Huai.
Naik tahta
Setelah Adipati Huai dipaksa turun tahta, Chong’er dinobatkan sebagai adipati Jin dengan gelar Adipati Wen, saat itu usianya telah 61 tahun. Hidup sembilan belas tahun di pengasingan membuatnya kenyang akan pahit-getirnya kehidupan dan memahami penderitaan rakyat. Maka begitu bertahta ia segera melakukan reformasi besar-besaran dalam tubuh pemerintahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Dalam bidang ekonomi ia meningkatkan produksi pertanian sehingga ekonomi Jin bertumbuh dengan cepat. Dalam politik ia menyingkirkan para penjilat dan pejabat korup dari rezim sebelumnya dan menempatkan orang-orang yang jujur dan kompeten untuk mengisi jabatan-jabatan penting.
Lu Sheng dan Gu Rui, dua orang pengikut Adipati Hui merasa khawatir posisi mereka terancam sehingga berkomplot untuk membunuhnya. Mereka berencana untuk membakar istana tempat Adipati Wen tidur. Bo Di yang kebetulan mendengarkan percakapan mereka segera menghadap Adipati Wen untuk melaporkan hal itu. Mulanya Adipati Wen menolak untuk bertemu dengannya mengingat Bo pernah dua kali hampir membunuhnya. Namun Bo terus memohon bertemu dengannya, ia berkata bahwa dulu ia hanya menjalankan perintah atasan. Adipati Wen akhirnya menerima alasan Bo dan mengijinkannya menghadap. Dari mulut Bo terkuaklah konspirasi untuk menghabisi nyawanya. Lu dan Gu kabur ke negara Qin setelah mengetahui rencana mereka terbongkar, namun Adipati Mu dari Qin menahan mereka dan mengeksekusinya.
Tahun 635 SM, Raja Xiang dari Zhou dikudeta oleh adiknya, Pangeran Dai, sehingga ia kabur ke negara Zheng. Dari Zheng, Raja Xiang meminta bantuan militer pada negara Jin yang kekuatannya sedang bertumbuh. Pada saat itu negara Qin sedang mempersiapkan pasukannya untuk membantu menumpas pemberontakan itu. Adipati Wen berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk mendapat pengaruh yang lebih besar sebagai pemimpin negara-negara bagian sehingga ia segera mengirim pasukannya untuk menumpas pemberontakan sebelum Qin sempat melakukannya. Setelah berhasil mengalahkan Pangeran Dai dan merebut kembali ibukota Zhou, Raja Xiang menghadiahkan beberapa kota pada Adipati Wen, dengan demikian wilayah Jin semakin bertambah luas apalagi setelah beberapa negara kecil di sekitarnya menyatakan tunduk dan bergabung dengannya.
Tahun 633 SM, negara Chu menyerang Song, sekutu Jin di selatan, dan mengepung ibukotanya, Shangqiu. Tahun berikutnya, Adipati Wen tiba bersama pasukannya untuk membebaskan negara Song dari kepungan Chu. Demi menepati janjinya dulu pada Raja Cheng, Adipati Wen menyuruh pasukannya mundur terlebih dulu hingga 45 km. Pasukan Chu dan beberapa negara kecil sekutunya mengejar hingga ke Chengpu (sekarang Kabupaten Pu, Shandong) dimana mereka terlibat pertempuran sengit. Pasukan Jin yang telah menggabungkan kekuatan dengan Qi, Qin dan Song berhasil mengalahkan musuh dengan telak. Kemenangan ini mengkukuhkan kedudukan Adipati Wen menjadi pemimpin negara-negara bagian (霸主, bazhu). Adipati Wen mangkat pada tahun 628 SM dan digantikan oleh putranya yang naik tahta sebagai Adipati Xiang dari Jin.
Setelah melalui perjalanan panjang, mereka tiba di negara Qi. Di sana, ia diterima dengan baik oleh Adipati Huan dari Qi. Adipati Huan tidak saja memberikannya kediaman mewah dan harta berlimpah, ia juga menjodohkannya dengan putri kerabatnya, Putri Qi Jiang, yang terkenal cantik. Hidup di Qi dalam gelimang kemewahan selama beberapa tahun membuat Chong’er terlena dan mulai melupakan ambisinya untuk memulihkan kejayaan negerinya, apalagi usianya saat itu sudah memasuki paruh baya dan sudah berkeluarga.
Pada tahun 639 SM, para pengikut Chong’er dibawah pimpinan Zhao Shuai dan Hu Yan mendiskusikan cara untuk membawa keluar atasannya dari Qi agar tidak melupakan cita-cita memulihkan negara Jin. Percakapan mereka terdengar oleh seorang pelayan Putri Qi Jiang yang segera melaporkan hal itu pada majikannya. Putri Qi Jiang adalah seorang wanita yang bijaksana, ia ingin suaminya sebagai seorang pria sejati jangan sampai melupakan kewajibannya terhadap negara sehingga ia malah mendukung rencana para pengikut suaminya. Setelah gagal membujuk suaminya untuk meninggalkan Qi dan kembali membangun negaranya, ia bersama para bawahan suaminya mengadakan sebuah pesta untuk Chong’er dan membuatnyam mabuk hingga tak sadarkan diri. Saat itulah mereka menaikannya ke kereta yang membawanya keluar dari Qi. Ketika siuman, ia sudah berada di alam liar dan jauh dari Qi. Dalam kemarahannya, ia hampir saja membunuh Hu Yan kalau saja tidak dicegah oleh yang lain. Hati Chong’er akhirnya luluh setelah para pengikutnya bersujud dan membujuknya agar tidak melupakan tujuan awal.
Kembali hidup mengembara
Setelah meninggalkan negara Qi, Chong’er dan pengikutnya berkelana dari satu negara ke negara lain. Mereka sempat tinggal di Cao, Song, dan Zheng namun mendapat perlakuan yang tidak baik sehingga tidak berlama-lama tinggal disana. Walau hidup terlunta-lunta, reputasinya yang bersih dan tulus, membuat banyak orang yang mengikutinya dan orang-orang yang mengikutinya bukanlah orang-orang sembarangan, mereka terdiri dari sarjana, ahli bela diri, dan orang-orang dari profesi terhormat lainnya. Pernah seorang putri pejabat berkomentar, “Dari setiap pengikut Pangeran Chong’er masing-masing pantas menduduki jabatan sebagai perdana menteri”
Tahun 637 SM, Chong’er dan rombongannya tiba di negara Chu. Raja Cheng dari Chu menyambutnya dengan hangat dan memperlakukannya seperti sahabat. Dalam suatu jamuan ia bertanya pada Chong’er mengenai apa yang akan dilakukannya dikemudian hari jika ada kesempatan membalas budi. Chong’er menjawab, “Jika satu hari nanti nasib buruk mempertemukan negara kita di medan perang, saya akan mengalah dulu dengan mundur sejauh tiga she (1 she = 15 km)”. Seorang menteri Chu bernama Zi Yu tidak senang dengan jawaban tersebut dan membujuk Raja Cheng untuk membunuhnya agar tidak menimbulkan kesulitan di kemudian hari, namun Raja Cheng yang terkesan pada sikap ksatria Chong’er menolak bujukan itu.
Setelah beberapa bulan di Chu, Chong’er dan pengikutnya melanjutkan perjalanan hingga tiba di Qin. Disana mereka diterima dengan baik oleh Adipati Mu dari Qin. Adipati Mu memberikan lima wanita cantik termasuk seorang putrinya pada Chong’er sebagai selir. Adipati Mu yang kecewa dengan Adipati Hui mendukung Chong’er naik tahta. Tahun 636 SM, dibawah pengawalan pasukan Qin, Chong’er kembali ke negaranya. Saat itu Adipati Hui telah mangkat dan digantikan oleh putranya, Adipati Huai.
Naik tahta
Setelah Adipati Huai dipaksa turun tahta, Chong’er dinobatkan sebagai adipati Jin dengan gelar Adipati Wen, saat itu usianya telah 61 tahun. Hidup sembilan belas tahun di pengasingan membuatnya kenyang akan pahit-getirnya kehidupan dan memahami penderitaan rakyat. Maka begitu bertahta ia segera melakukan reformasi besar-besaran dalam tubuh pemerintahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Dalam bidang ekonomi ia meningkatkan produksi pertanian sehingga ekonomi Jin bertumbuh dengan cepat. Dalam politik ia menyingkirkan para penjilat dan pejabat korup dari rezim sebelumnya dan menempatkan orang-orang yang jujur dan kompeten untuk mengisi jabatan-jabatan penting.
Lu Sheng dan Gu Rui, dua orang pengikut Adipati Hui merasa khawatir posisi mereka terancam sehingga berkomplot untuk membunuhnya. Mereka berencana untuk membakar istana tempat Adipati Wen tidur. Bo Di yang kebetulan mendengarkan percakapan mereka segera menghadap Adipati Wen untuk melaporkan hal itu. Mulanya Adipati Wen menolak untuk bertemu dengannya mengingat Bo pernah dua kali hampir membunuhnya. Namun Bo terus memohon bertemu dengannya, ia berkata bahwa dulu ia hanya menjalankan perintah atasan. Adipati Wen akhirnya menerima alasan Bo dan mengijinkannya menghadap. Dari mulut Bo terkuaklah konspirasi untuk menghabisi nyawanya. Lu dan Gu kabur ke negara Qin setelah mengetahui rencana mereka terbongkar, namun Adipati Mu dari Qin menahan mereka dan mengeksekusinya.
Tahun 635 SM, Raja Xiang dari Zhou dikudeta oleh adiknya, Pangeran Dai, sehingga ia kabur ke negara Zheng. Dari Zheng, Raja Xiang meminta bantuan militer pada negara Jin yang kekuatannya sedang bertumbuh. Pada saat itu negara Qin sedang mempersiapkan pasukannya untuk membantu menumpas pemberontakan itu. Adipati Wen berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk mendapat pengaruh yang lebih besar sebagai pemimpin negara-negara bagian sehingga ia segera mengirim pasukannya untuk menumpas pemberontakan sebelum Qin sempat melakukannya. Setelah berhasil mengalahkan Pangeran Dai dan merebut kembali ibukota Zhou, Raja Xiang menghadiahkan beberapa kota pada Adipati Wen, dengan demikian wilayah Jin semakin bertambah luas apalagi setelah beberapa negara kecil di sekitarnya menyatakan tunduk dan bergabung dengannya.
Tahun 633 SM, negara Chu menyerang Song, sekutu Jin di selatan, dan mengepung ibukotanya, Shangqiu. Tahun berikutnya, Adipati Wen tiba bersama pasukannya untuk membebaskan negara Song dari kepungan Chu. Demi menepati janjinya dulu pada Raja Cheng, Adipati Wen menyuruh pasukannya mundur terlebih dulu hingga 45 km. Pasukan Chu dan beberapa negara kecil sekutunya mengejar hingga ke Chengpu (sekarang Kabupaten Pu, Shandong) dimana mereka terlibat pertempuran sengit. Pasukan Jin yang telah menggabungkan kekuatan dengan Qi, Qin dan Song berhasil mengalahkan musuh dengan telak. Kemenangan ini mengkukuhkan kedudukan Adipati Wen menjadi pemimpin negara-negara bagian (霸主, bazhu). Adipati Wen mangkat pada tahun 628 SM dan digantikan oleh putranya yang naik tahta sebagai Adipati Xiang dari Jin.